Saturday, July 03, 2010

Salak pondoh Sleman goes organic

Setelah kondang dengan mata dagangan pertanian salak pondoh, kini petani salak di Sleman Yogyakarta mulai banyak beralih ke sistem tanam salak organik.

Tidak banyak perbedaan signifikan dalam cara tanam maupun pengolahan pada kedua jenis salak tersebbut. Pada dasarnya salak pondoh organik hanya tidak menggunakan zat kimia dalam penanamannya sama sekali.

Purwanto Ismoyo, Ketua kelompok tani salak pondoh organik Si Cantikdi Ledoknongko, Turi Sleman, mengatakan proses paling sulit adalah mencari sertifikasi dari Dinas Pertanian setempat untuk menjamin salak produksinya merupakan hasil pertanian organik.

"Kita tidak bisa langsung dapat, harus melewati proses yang cukup lama dan rumit,"kata Purwanto di tengah kebun seluas 2,5 hektar yang dipakai kelompoknya sebagai lokasi tanam utama.

Namun sejak sertifikasi didapat tahun 2005, salak organik produksi kelompok ini sudah mendapat kesempatan menjadi produk ekspor ke Cina.
"Kalau di pasar lokal harganya Rp 2500-4000, diekspor rata-rata Rp 6000," tambah Purwanto sumringah.

Tingginya harga salak pondoh untuk ekspor ini membuat banyak petani beralih ke pola organik.

Pasar ekspor, misalnya Cina yang saat ini menerima kiriman rata-rata 3 ton per minggu dari kelompok Si Cantik, memilih organik karena kualitas barang dan daya tahannya.

"Selain tanpa kandungan zat kimia, daya tahannya juga jauh lebih kuat sampai sebulan," kata Waliman Djarwowasito, seorang petani yang juga pengumpul salak.

Daya tahan merupakan unsur penting dalam perdagangan produk pertanian karena menentukan nilai produk.
Pekerjaan berat

Kebun salak pondoh organik nampak jauh lebih rapi dan bersih dibanding kebun salak biasa.

Barisan pohon sejajar teratur dipisahkan dari barisan berikutnya membuat kebun salak enak dinikmati baik untuk memeriksa kondisi tanaman maupun memetik hasilnya.

Ini diperoleh dengan kerja keras, kata Purwanto Ismoyo, bagian dari syarat mendapat sertifikasi tanaman organik.

"Bagi petani itu berat sekali, karena kita dituntut membuat administrasi. Tiap langkah yang dilakukan petani dalam merawat kebun dari pengolahan tanah, pemupukan, pemangkasan, pola panen, dan seterusnya," tambah Puwanto.
Tumpukan buku administrasi petani ini dalam periode tertentu akan diperiksa dinas pertanian sebagai bahan penilaian apakah petani layak tetap mendapat sertifikat tanam organik.

Meski berat sejauh ini hasilnya dianggap sangat menggembirakan petani, tiap rumpun salak menghasilkan 8-15 kg buah per tahun.

Petani salak seperti Mujiyanto, juga senang karena salak organik mengirit pengeluaran pupuk.

"Dulu waktu tanam salak biasa, kita harus banyak keluar modal untuk pupuk kimia," kata Mujiyanto.

Pemilik 2000 meter persegi kebun salak ini juga mengaku diuntungkan karena melalui kelompok tani salak organik, dimungkinkan petani mendapat bantuan dinas pertanian mulai dari modal, pupuk sampai pemasaran.

Dari satu hektar lahan bisa ditanami hingga 3.000 rumpun salak.
Dalam setahun salak bisa dua kali dipanen, pada Desember dan Mei.

Pada produk salak lokal, biasanya panen akan diikuti merosotnya harga akibat melimpahnya pasokan.

"Harga salak lokal sekitar Rp4000, tapi kalau panen raya harga jatuh sampai Rp 2000-2500," keluh Mujiyanto, petani salak anggota Si Cantik.

Tetapi pada kasus salak organik untuk ekspor dan pasar supermarket lokal, harga tetap bisa dipertahankan paling rendah Rp5000.

Di Turi, tiap tahun diperkirakan produksi salak, organik maupun lokal, mencapai 30 ribuan ton.
Trauma pemasaran

Meski nampak meguntungkan petani salak juga mengalami sejumlah kendala.

Waliman dan anaknya, Agus Widodo, sudah belasan tahun menjadi pengepul salak dan memasarkannya ke berbagai kota.

Dalam sehari mereka rata-rata mengirim 3 ton salak ke berbagai kota, terutama ke Palembang, Aceh, Pekanbaru dan Bali.

"Sekali kirim beberapa ton, terbesar untuk Bali karena bisa sampai 5 ton sekali jalan,"jelas Agus.
Bali merupakan pasar salak yang sangat penting karena komoditi ini dibutuhkan sebagai pelengkap sesaji tradisional.

"Tapi kita sudah trauma kirim ke Jakarta, karena berkali-kali ditipu," tambah Agus.

Model pemasaran salak umumya hanya didasarkan pada pemesanan jarak jauh. Begitu pesanan diterima, salak langsung dikirim ke lokasi hingga rata-rata lima kali pengiriman baru dibayar.

"Yang dikirim ke Jakarta mulanya berjalan baik, lama-lama pembayaran seret malah tidak dibayar sama sekali," tambah Waliman.

Setelah kelompok tani si Cantik berjalna lancar kini model pemasaran salak dikembangkan melalui agroturisme kebun salak petik sendiri.

"Pokoknya kalau ada pengunjung kita pungut bayaran Rp 7.500, kita sediakan pemandu, petik dan makan salak sepuasnya, lalu bisa belanja salak untuk oleh-oleh,"kata Abdul Kholid yang bertugas menjaga kebun.

Dengan model pemasaran seperti ini, kelompok Si Cantik sudah banyak mendapat pesanan kunjungan selama musim libur sekolah Juni-Juli ini.
Sumber:
http://www.bbc.co.uk/indonesia/majalah/2010/06/100607_slakgoesorganic.shtml